Hari Sabtu,
menit kedua puluh tujuh di kedai. Sudah selama itu aku memandangi gadis yang
tidak kutahu namanya. Matahari tidak sedang tinggi tapi tetap membuat
orang-orang bersembunyi. Namun di mata gadis itu sedang hujan. Lebat sekali
sepertinya, meski tidak ada bulir yang kulihat berhasil keluar. Mata itu seolah
berbicara pada kaca bahwa disana hujan lebat tidak pernah reda dan akan selalu
basah. Mata itu ingin memasukkan matahari di dalam dirinya tapi tak bisa. Gadis
itu benar-benar sedih. Apakah ia sedang menunggu seseorang? Aku tidak tahu.
Hari kedua,
aku melihatnya masih memandangi kaca jendela. Aku membayangkan dia dan jendela
seperti seorang sahabat lama yang tak lagi berbicara dengan kata-kata. Mereka
hanya akan saling memandang dan saling memahami. Ingin sekali aku menjadi kaca
itu. Aku ingin sekali merasakan dipandangi seorang perempuan seolah aku adalah
jawaban akan pertanyaan yang ia tulis di buku hariannya. Aku masih memandangi
gadis yang tak kutahu namanya itu hingga ia keluar dari kedai.
Hari kelima.
Aku mengenakan pakaian terbaik, mungkin jika aku beruntung aku akan mengajaknya
berkenalan. Jika tidak aku akan menenggelamkan diri di sebuah koran yang
kupersiapkan tadi pagi. Aku jadi ingat pada masa sekolah aku berlatih semalaman
hanya untuk berkenalan dengan seorang gadis yang ternyata telah memiliki
kekasih. Mungkin hari ini latihanku bertahun yang lalu akan sedikit berguna.
Aku tiba di kedai tapi gadis yang tidak kutahu namanya itu tidak lagi sendiri.
Aku mungkin benar-benar gagal dalam urusan semacam ini.
Hari keenam,
ketujuh hingga empat belas gadis itu tidak datang. Mungkin lelaki yang dulu
bersamanya mengajaknya ke tempat lain. Aku menjadi kesepian. Kopi rasanya
seperti bukan kopi lagi. Aku bahkan tak ingin meminumnya. Dalam situasi begini,
merindukan orang asing apakah sebuah hal yang aneh? Aku merindukan gadis itu.
Mungkin kaca jendela yang selalu menemaninya juga sama. Sekarang aku dan kaca
jendela telah saling memahami.
Hari kelima
belas dan enam belas dan tujuh belas aku tak datang. Aku sibuk dan bosan. Entah
mana yang lebih benar, mungkin aku menyibukkan diri karena bosan terlebih
karena gadis yang tak kutahu namanya telah memiliki pasangan. Tapi aku masih
sering penasaran. Aku tak berdaya karena tak tahu apa-apa. Untuk bertanya kabarnya
juga akan aneh rasanya. Aku memandangi kaca jendela seperti yang dilakukan
gadis itu tempo hari. Adakah ia melihat hal menarik disini? Aku tak melihat
apapun selain bangunan yang kian hari semakin kejam saja. Mungkin di luar sana
gadis itu dapat melihat dunia lain dimana ia merasa tak sendiri.
Hari kedelapan
belas aku datang kembali. Gadis itu ada disana. Matanya sembab. Lihatlah mata
itu, hujan yang ada disana disertai badai. Aku curiga, kemarin di mata itu
matahari bertamu namun kembali hilang. Badainya jauh lebih besar. Bulirnya kali
ini berhasil keluar. Aku tahu banyak orang yang membenci menangis di tempat
umum, tapi kurasa dia telah menjadikan kedai ini sebagai rumahnya, rumah yang
ditinggali orang-orang asing. Apakah tetap sebuah rumah jika ia dihuni orang
asing? Entahlah.
Aku tak
pernah suka dengan gadis yang menangis. Bukan karena itu salah. Gadis dan
lautan yang ada dalam diri mereka kupikir telah terlalu penuh. Entah mengapa
dunia masih saja memberinya badai yang panjang. Aku selalu membayangkan semua
gadis akan mendapatkan akhir yang baik, akhir yang dicintai. Sama seperti aku
menginginkan ibu merasakan hal yang serupa, dicintai. Aku tumbuh dengan mimpi
untuk terus membuat Ibu merasa dicintai. Juga mungkin kepada wanita yang
menangis di kaca jendela disana.
Semakin
sore, kurasa aku akan pulang. Tidak, aku tak akan mengajaknya berkenalan hari
ini. Badai disana, aku takut akan membuatnya jauh lebih buruk. Aku mengeluarkan
sapu tangan dari saku celana. Terdengar sangat tua, sapu tangan sudah jarang
ada di saku orang-orang. Tapi aku selalu ingin membawa sapu tangan, karena
mungkin ada lelah atau air mata di luar sana yang butuh diseka. Aku menghampiri
gadis di kaca jendela itu tanpa latihan, aku hanya berjalan, meletakkan sapu
tangan di sisi kopinya. Ia tersentak, aku tersenyum. Dari jarak sedekat ini
ternyata banyak hal yang kulewatkan. Aku tak tahu ia memiliki tahi lalat di
pelipisnya, juga warna matanya yang tak pernah aku lihat pada orang lain
sebelumnya.
“Di musim
yang panas seperti ini, hujan bukan lah sebuah ide yang buruk, asal hujan di
matamu selalu ada yang menyekanya”
Aku pergi.
Aku menyadari betapa bodohnya kalimat barusan. Aku menyadari malam ini akan
menjadi malam yang panjang dan penuh penyesalan. Aku akan mengutuk diriku
karena tak singgah duduk di depannya, atau melakukan hal heroik lainnya. Aku
benar-benar masih butuh latihan untuk situasi begini.
Hari kesembilan
belas dan dua puluh. Gadis yang tak kutahu namanya tak pernah datang, juga
dengan sapu tanganku. Aku tambah menyesali kebodohanku.
Hari
keduapuluh satu. Aku kembali ke kedai yang sama. Di luar sedang hujan dan kedai
benar-benar kosong. Gadis di kaca jendela yang membawa hujan di matanya mungkin
telah membagi hujan pada semesta. Selagi hujan begini sering aku mengingat
kata-kata sebagian orang, kita memekarkan payung, menutup jendela dan
membenamkan diri dalam selimut hanya untuk menghindari orang-orang. Hujan
seperti memirip-miripkan dirinya dengan orang yang ingin kita lupakan, itulah
sebabnya kita bersembunyi.
“Terima kasih,
sapu tangannya kemarin” Gadis yang tak kutahu namanya itu berdiri di depan ku
dengan menyodorkan sapu tangan. Aku bisa merasakan raut wajahku yang aneh. Ini
benar-benar memalukan. Hampir tiga puluh detik baru dapat kubalas sapaannya.
Sudah cukup baginya menilaiku bodoh.
“Kinan” ia
menyodorkan tangan. Aku menyambutnya dengan cepat kali ini. Hari keduapuluh
satu, gadis yang tak kutahu namanya kini duduk di mejaku. Kurasa mulai dari
sini aku tak butuh latihan lagi
31 Maret 2020
-SFA-