Selasa, 31 Maret 2020

Dua Puluh Satu Hari di Kedai

Hari Sabtu, menit kedua puluh tujuh di kedai. Sudah selama itu aku memandangi gadis yang tidak kutahu namanya. Matahari tidak sedang tinggi tapi tetap membuat orang-orang bersembunyi. Namun di mata gadis itu sedang hujan. Lebat sekali sepertinya, meski tidak ada bulir yang kulihat berhasil keluar. Mata itu seolah berbicara pada kaca bahwa disana hujan lebat tidak pernah reda dan akan selalu basah. Mata itu ingin memasukkan matahari di dalam dirinya tapi tak bisa. Gadis itu benar-benar sedih. Apakah ia sedang menunggu seseorang? Aku tidak tahu.
Hari kedua, aku melihatnya masih memandangi kaca jendela. Aku membayangkan dia dan jendela seperti seorang sahabat lama yang tak lagi berbicara dengan kata-kata. Mereka hanya akan saling memandang dan saling memahami. Ingin sekali aku menjadi kaca itu. Aku ingin sekali merasakan dipandangi seorang perempuan seolah aku adalah jawaban akan pertanyaan yang ia tulis di buku hariannya. Aku masih memandangi gadis yang tak kutahu namanya itu hingga ia keluar dari kedai.
Hari kelima. Aku mengenakan pakaian terbaik, mungkin jika aku beruntung aku akan mengajaknya berkenalan. Jika tidak aku akan menenggelamkan diri di sebuah koran yang kupersiapkan tadi pagi. Aku jadi ingat pada masa sekolah aku berlatih semalaman hanya untuk berkenalan dengan seorang gadis yang ternyata telah memiliki kekasih. Mungkin hari ini latihanku bertahun yang lalu akan sedikit berguna. Aku tiba di kedai tapi gadis yang tidak kutahu namanya itu tidak lagi sendiri. Aku mungkin benar-benar gagal dalam urusan semacam ini.
Hari keenam, ketujuh hingga empat belas gadis itu tidak datang. Mungkin lelaki yang dulu bersamanya mengajaknya ke tempat lain. Aku menjadi kesepian. Kopi rasanya seperti bukan kopi lagi. Aku bahkan tak ingin meminumnya. Dalam situasi begini, merindukan orang asing apakah sebuah hal yang aneh? Aku merindukan gadis itu. Mungkin kaca jendela yang selalu menemaninya juga sama. Sekarang aku dan kaca jendela telah saling memahami.
Hari kelima belas dan enam belas dan tujuh belas aku tak datang. Aku sibuk dan bosan. Entah mana yang lebih benar, mungkin aku menyibukkan diri karena bosan terlebih karena gadis yang tak kutahu namanya telah memiliki pasangan. Tapi aku masih sering penasaran. Aku tak berdaya karena tak tahu apa-apa. Untuk bertanya kabarnya juga akan aneh rasanya. Aku memandangi kaca jendela seperti yang dilakukan gadis itu tempo hari. Adakah ia melihat hal menarik disini? Aku tak melihat apapun selain bangunan yang kian hari semakin kejam saja. Mungkin di luar sana gadis itu dapat melihat dunia lain dimana ia merasa tak sendiri.
Hari kedelapan belas aku datang kembali. Gadis itu ada disana. Matanya sembab. Lihatlah mata itu, hujan yang ada disana disertai badai. Aku curiga, kemarin di mata itu matahari bertamu namun kembali hilang. Badainya jauh lebih besar. Bulirnya kali ini berhasil keluar. Aku tahu banyak orang yang membenci menangis di tempat umum, tapi kurasa dia telah menjadikan kedai ini sebagai rumahnya, rumah yang ditinggali orang-orang asing. Apakah tetap sebuah rumah jika ia dihuni orang asing? Entahlah.
Aku tak pernah suka dengan gadis yang menangis. Bukan karena itu salah. Gadis dan lautan yang ada dalam diri mereka kupikir telah terlalu penuh. Entah mengapa dunia masih saja memberinya badai yang panjang. Aku selalu membayangkan semua gadis akan mendapatkan akhir yang baik, akhir yang dicintai. Sama seperti aku menginginkan ibu merasakan hal yang serupa, dicintai. Aku tumbuh dengan mimpi untuk terus membuat Ibu merasa dicintai. Juga mungkin kepada wanita yang menangis di kaca jendela disana.
Semakin sore, kurasa aku akan pulang. Tidak, aku tak akan mengajaknya berkenalan hari ini. Badai disana, aku takut akan membuatnya jauh lebih buruk. Aku mengeluarkan sapu tangan dari saku celana. Terdengar sangat tua, sapu tangan sudah jarang ada di saku orang-orang. Tapi aku selalu ingin membawa sapu tangan, karena mungkin ada lelah atau air mata di luar sana yang butuh diseka. Aku menghampiri gadis di kaca jendela itu tanpa latihan, aku hanya berjalan, meletakkan sapu tangan di sisi kopinya. Ia tersentak, aku tersenyum. Dari jarak sedekat ini ternyata banyak hal yang kulewatkan. Aku tak tahu ia memiliki tahi lalat di pelipisnya, juga warna matanya yang tak pernah aku lihat pada orang lain sebelumnya.
“Di musim yang panas seperti ini, hujan bukan lah sebuah ide yang buruk, asal hujan di matamu selalu ada yang menyekanya”
Aku pergi. Aku menyadari betapa bodohnya kalimat barusan. Aku menyadari malam ini akan menjadi malam yang panjang dan penuh penyesalan. Aku akan mengutuk diriku karena tak singgah duduk di depannya, atau melakukan hal heroik lainnya. Aku benar-benar masih butuh latihan untuk situasi begini.
Hari kesembilan belas dan dua puluh. Gadis yang tak kutahu namanya tak pernah datang, juga dengan sapu tanganku. Aku tambah menyesali kebodohanku.
Hari keduapuluh satu. Aku kembali ke kedai yang sama. Di luar sedang hujan dan kedai benar-benar kosong. Gadis di kaca jendela yang membawa hujan di matanya mungkin telah membagi hujan pada semesta. Selagi hujan begini sering aku mengingat kata-kata sebagian orang, kita memekarkan payung, menutup jendela dan membenamkan diri dalam selimut hanya untuk menghindari orang-orang. Hujan seperti memirip-miripkan dirinya dengan orang yang ingin kita lupakan, itulah sebabnya kita bersembunyi.
“Terima kasih, sapu tangannya kemarin” Gadis yang tak kutahu namanya itu berdiri di depan ku dengan menyodorkan sapu tangan. Aku bisa merasakan raut wajahku yang aneh. Ini benar-benar memalukan. Hampir tiga puluh detik baru dapat kubalas sapaannya. Sudah cukup baginya menilaiku bodoh.
“Kinan” ia menyodorkan tangan. Aku menyambutnya dengan cepat kali ini. Hari keduapuluh satu, gadis yang tak kutahu namanya kini duduk di mejaku. Kurasa mulai dari sini aku tak butuh latihan lagi
31 Maret 2020
-SFA-
Share:

Sabtu, 28 Maret 2020

Jam 3 Pagi

Aku melihatmu di jam tiga pagi, sedang tertidur lelap tapi tidak disini. 
Tidak di sampingku. 

Mungkin kau sedang tersesat di sebuah tempat atau di sebuah hati yang jauh dari sini.
Kuharap kau baik-baik saja.

Tidak. Kuharap aku baik-baik saja.


Aku melihatmu di jam tiga pagi sedang mengigaukan satu nama yang sayangnya bukan namaku. 
Aku melihatmu jam tiga pagi mengecup kening yang juga bukan keningku.


Jam tiga pagi. Kau baik-baik saja.
Jam tiga pagi. Kuharap bisa baik-baik saja.
Jam tujuh pagi kau sarapan dengan gembira dan bersiap untuk pergi kerja. Namun aku masih di sini, terjebak di jam tiga pagi melihatmu bahagia dan nampaknya lupa bahwa dulu pernah ada kita.


Aku masih disini, di jam tiga pagi.


Jam tiga pagi, aku mati sekali lagi
Share:

Kamis, 26 Maret 2020

J A R A K


Kau Jauh
Pun aku, begitu.
Kenapa jauh? Katamu.
Tapi. Kau Mungkin perlu diingatkan kembali.
Yang jauh. Apa bukan kamu?
Jauh. Menjauh. Jauh. Jaaaaauuuuuh lagi.
Jauh sekali.
Kamu. Aku. Kita.
Jauh.
Jauh sekali.
Jauh jarak. Jauh hati.
Aku padamu. Kamu pada-NYA. Kemudian jauh bertambah.
Aduh!
Kita Jauh. Jauh Sekali.

Share:

Mimpi di Keranjang Kerupuk


Aku melihat mimpi di keranjang berisi kerupuk yang gulanya mengering dan retak
Disana mimpiku.
Pelataran masjid dan kampus seperti jendela tempatku melihat mimpi lalu lalang hendak dipilih
Hendak ditanggungjawabi.
Masjid, trotoar, kampus.
MIPA, Seni dan Bahasa
Adalah tumpukan jemari mahasiswa yang menyantuni mimpi dan perutku.  Juga perut nenekku.
Dan terkadang juga adalah gelap yang membutakan mimpiku.

Aku ingin mengadu pada Ibu tentang pukulan mereka yang melarangku berjualan.
Tapi Ia sudah lama hilang.
Aku ingin mengadu pada Ayah tentang mereka yang membentakku karena berjualan.
Tapi Ia sudah lama dipanggil Tuhan.
Setiap hari aku hanya bisa mengadu pada nenek tentang jualan
yang laku tadi siang

Share:

Pulang


Bagi Perempuan
Kita tak pernah betul-betul berhenti
Kita tak pernah betul-betul rehat
Semua tempat adalah persinggahan
Dan, semua persinggahan hanyalah kunjungan.
Kita tak pernah betul-betul pulang.
Tak ada yang layak menjadi rumah untuk memulangkan tubuh kita.

Tapi Nak,
Kau adalah rumah bagi setiap ibu untuk pulang
Seperti kembali ke masa kecil untuk disayang kembali.
Seperti menghidupkan anak-anak yang lama tak pernah tumbuh dan sering bersembunyi.

Terkadang ibu iri dengan telepon genggam yang siang malam merampas harimu.
Mulai khawatir karena suara ibu dari jauh hanya berakhir menjadi panggilan tak terjawab dan pesan yang kau abaikan.

Usia senja selalu menyesakkan - saat rumah untuk lelah bisa berpindah dan kau semakin renta.
Rasanya Ibu ingin menjadi sepatu yang selalu menopang ragamu walau hanya berakhir di rak lusuh di luar kamarmu.
Atau udara yang kau hirup dan kau hembuskan berulang kali
Tanpa harus disembunyi, karena Ibu tak punya baju warna-warni dan potongan rambut masa kini.

Dan..
Cinta akan datang padamu jauh lebih banyak dari kota-kota yang kau kunjungi.
Tapi Ibu, punya cinta lebih banyak dari kata-kata kau baca dan tulis.
Satu-satunya rumah yang tak pernah menghianatimu.

Akhirnya,
Kepada anak yang kucintai bahkan sebelum ia berupa.
Mungkin kau akan mengangkat telepon ku kini?
Atau mencoba untuk membalas pesan-pesanku mungkin.

Share:

Selasa, 06 Agustus 2019

Ayah yang Kuinginkan

Aku mendapati diri sering menyebut orang-orang yang kutemui sebagai ayahku.
Aku selalu membayangkan kelak di suatu masa, seseorang yang baik dan hangat akan menjadi ayahku. Kelak.
Aku telah menulis daftar panjang tentang ayah versi terbaikku.
Ayah yang aku inginkan.
Yang sering mengajakku jalan, makan-makan atau membeli buku. 
Saling bertukar buku bacaan dan bercerita tentang hari kemarin atau yang akan datang.
Aku memimpikan ayah yang menerimaku bukan karena dia telah menjadi ayahku, tapi mendamba untuk menjadi ayahku.
Aku memimpikan ayah yang tak meninggalkanku sendirian.
Aku memimpikan ayah yang menganggapku anaknya. Yang melihatku seperti ia melihat bintang-bintang di angkasa.
Aku ingin ayah yang menatapku dengan cinta sebagaimana aku menatapnya dengan kerinduan.
Aku ingin bercerita larut malam, dan saat aku dewasa aku ingin dia tetap menjadi pelukan terakhirku.
Share:

Pulang pada Puisi

Akhirnya semua orang pulang pada puisi
Ketika air matanya sudah tak diterima sahabat karibnya.
Semua orang berkumpul melingkari puisi untuk beristirahat dari bos mereka yang marah.
Atau editor yang minta ini itu.
Atau dosen yang tak kunjung memberi persetujuan.
Pada puisi malam semua merenung.
Mengingat seduhan kopi dan rintik hujan di sisi kekasih.
Mengingat jemari yang mereka tinggalkan. 
Atau bayang pulang yang tak kunjung terang.
Pada puisi semua orang berpulang.
Taat.
Khidmat.
Share: