Selasa, 06 Agustus 2019

Ayah yang Kuinginkan

Aku mendapati diri sering menyebut orang-orang yang kutemui sebagai ayahku.
Aku selalu membayangkan kelak di suatu masa, seseorang yang baik dan hangat akan menjadi ayahku. Kelak.
Aku telah menulis daftar panjang tentang ayah versi terbaikku.
Ayah yang aku inginkan.
Yang sering mengajakku jalan, makan-makan atau membeli buku. 
Saling bertukar buku bacaan dan bercerita tentang hari kemarin atau yang akan datang.
Aku memimpikan ayah yang menerimaku bukan karena dia telah menjadi ayahku, tapi mendamba untuk menjadi ayahku.
Aku memimpikan ayah yang tak meninggalkanku sendirian.
Aku memimpikan ayah yang menganggapku anaknya. Yang melihatku seperti ia melihat bintang-bintang di angkasa.
Aku ingin ayah yang menatapku dengan cinta sebagaimana aku menatapnya dengan kerinduan.
Aku ingin bercerita larut malam, dan saat aku dewasa aku ingin dia tetap menjadi pelukan terakhirku.
Share:

Pulang pada Puisi

Akhirnya semua orang pulang pada puisi
Ketika air matanya sudah tak diterima sahabat karibnya.
Semua orang berkumpul melingkari puisi untuk beristirahat dari bos mereka yang marah.
Atau editor yang minta ini itu.
Atau dosen yang tak kunjung memberi persetujuan.
Pada puisi malam semua merenung.
Mengingat seduhan kopi dan rintik hujan di sisi kekasih.
Mengingat jemari yang mereka tinggalkan. 
Atau bayang pulang yang tak kunjung terang.
Pada puisi semua orang berpulang.
Taat.
Khidmat.
Share:

Hanya Kita yang Tak Pernah Ada



Kamu ada.
Kamu ada pada setiap hati yang dingin.
           pada resah yang mengisi jalan di pertengahan malam.
 
          di setiap suara yang tersumbat ditutupi bantal karena takut akan di dengar orang.

               ada di setiap keragu-raguan saat Aku mengirim pesan.
                di antara pilihan ya atau tidak dalam putusan mengakhiri atau melanjutkan.
              pada senyum yang mengembang saat membuka pesan-pesan lama seseorang.
Kamu ada.
Kamu ada pada lengan baju yang Aku gunakan menghapus air mata.

           pada setiap percakapan tentang teman yang Aku sebut sebagai seseorang.
           pada nama yang Aku rahasiakan di depan orang-orang.
           pada setiap pertanyaan mengapa seseorang bisa berubah.
Kamu ada pada nama yang Aku igaukan saat sedang sakit demam.

           pada toko toko yang dulu kita ada di sana.
           pada angin yang mendinginkan kopiku yang tak pernah Aku coba teguk.
           pada setiap judul buku yang Aku beli.
           pada ingatan ketika Aku membaca tulisan-tulisan.
Kamu ada.
Kamu ada pada debar debar aneh saat Aku memandangi foto seseorang.
Seseorang.
seseorang yang dulu ada.
kini tiada.
Kamu ada. 
Kamu selalu ada disana.
Hanya kita yang tak pernah ada di sana.
------setengah dua belas.


Share:

Menelpon Mama


Pict : Unsplash.com

Mama tidak pernah menelponku. Alih-alih mengadu kasih sayang, bertanya kabarpun kami tak pernah saling menyempatkan. Sebuah panggilan telepon seperti sebuah harga mahal yang tak pernah sudi kami bayar. Mungkin mama sibuk, batinku. Dan atau mungkin itu aku yang begitu sibuk.
Aku begitu buruk dalam urusan mengangkat telepon. Tapi sejauh yang kulihat, aku tak pernah melewatkan telepon mama. Mungkin karena mama tak pernah menelpon. Apakah ia pernah mau menelpon? Aku tak tahu.
Mama sering menelpon ketika aku masih duduk di bangku sekolah dulu. Dan karena aku orang yang buruk dalam urusan mengangkat telpon, banyak panggilannya yang tak sempat kujawab.
Semenjak berkuliah, Aku lebih sering lebaran di kota. Tidak pulang. Mungkin karena mama tak menelpon. Dan aku juga tak berniat untuk menekan nomor mama di telepon. Malam takbiran pun begitu, Kami tidak menelpon. Aku tidak menyimpan nomornya, tapi toh aku hafal. Hubungan kami tidak renggang, malah sebaliknya, kami begitu sangat menyayangi. Hanya saja kami tidak menelpon.
Tapi malam ini, aku sangat ingin ditelepon. Ditelepon mama. Hidup rasanya makin susah saja, makin rumit. Aku tahu, sedikit telepon akan meredakan kegamangan hatiku. Rasanya, hampir 4 tahun kami tak mendekatkan gawai di telinga masing-masing hanya untuk mendengar suara di seberang yang sama-sama kami rindukan.
Aku menatapi layar gawai dengan pandangan kosong. Aku tak pernah terpikir menunggu telepon akan semembosankan ini. Sesekali gawai ku berbunyi. Tapi bukan dari nomor yang kunanti, panggilan itu kubiarkan mati sendiri. Aku memang tak pernah berniat untuk menekan nomor mama di layar. Itu seharusnya mama yang melakukan. Menelepon nomorku, menanyakan kabarku , makan malam ku apa, atau kuliah ku bagaimana. 
Aku mampu menulis banyak cerita, dan banyak puisi di gawai ini. Tapi menekan tombol panggilan untuk mama saja aku lemah.
Aku memandang foto mama di layar.
"Tidak ada telepon,
Tidak akan pernah ada telepon."
Aku menghabiskan banyak waktu dalam hidupku untuk melakukan hal yang sia-sia, salah satunya dengan menunggu telepon mama. Banyak hal yang entah kenapa kita suka berpura-pura atasnya. Pura-pura senang, pura-pura tersenyum, pura-pura mengetik pesan, bahkan pura-pura menanti telepon.
Wajah yang tersenyum di gawaiku masih sama seperti ketika terakhir kali aku melihatnya.
"Tidak ada telepon,
Tidak akan pernah ada telepon."
Share: