Selasa, 31 Januari 2017

Tentang Hujan

Hai dik.
Belakangan ini aku mulai berfikir bahwa sebenarnya hujan itu lahir dari air mata yang terpendam. Air mata yang tak pernah jadi menetes, yang tertahan dan kokoh menyembunyikan dirinya.

Beberapa hari lalu aku menyaksikan kematian dik. Ada yang menangis, ada pula yang tidak. Saat itu aku mulai diserang kebingungan. Antara siapa yang lebih kuat, mereka yang menangis atau mereka yang tidak. Dan, siapa pula yang lebih sedih dari keduanya? mereka yang enggan menangis, ataukah yang tumpah ruah air matanya.
Sore itu, langit mengenakan warna abu-abu, warna favoritku sebenarnya. Namun, sore itu, langit abu-abu nya adalah abu-abu penuh duka, menyampaikan belasungkawa bersamaan turunnya hujan.
Di sore yang benar benar kelabu itu, Hujan turun rintik-rintik, kemudian membasahi mereka semua, membasahi gadis yang menangis tadi, dan gadis satunya -yang memutuskan untuk tidak menangis, juga membasahiku tentunya.

Mungkin hujan adalah representasi dari air mata. Air mata yang ditahan agar tak tumpah. Air mata yang disimpan rapat agar ...
Mereka yang menangis dapat ditopang hatinya, dihibur sebisanya. Karena jika air mata bertemu, siapa yang bakal menghentikan arusnya?
Harus ada alasan untuk berhenti bukan? Dan mereka yang tak menangis yang akan menghentikan arus yang menderas itu. Memberi alasan untuk menyeka air mata.
Bukan begitu dik?

Biarlah hujan yang mengalirkan air mata.



Share: